Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri khas tersendiri, seperti misalnya makanan khas daerah tertentu. Demikian juga halnya, dengan masyarakat Karo memiliki makanan-makanan yang khas dan unik serta memiliki cita rasa sendiri. Sebut saja cipera, pagit-pagit, tasak telu, panggang Karo alis BPK serta masih banyak yang lainnya. Namun dalam pengamatan sehari-hari panggang Karo telah memiliki pamor tersendiri di mata masyarakat non Karo. Rumah makan BPK cukup banyak ditemui di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Bogo, Tangerang, Bekasi bahkan sudah ada yang merambah ke mall dan plaza. BPK Serasi Rasa Berastagi
Bila kita ‘bertandang’ ke Medan rasanya belum afdol bila belum singgah di rumah makan BPK di sepanjang jalan dari Padang Bulan hingga Berastagi. Mungkin ada seratusan rumah makan yang menyuguhkan hidangan nuansa Karo tersebut. Melihat geliat bisnis panggang tersebut akal sehat saya menggelitik, seberapa besarkah kontribusi rumah makan ini bagi masyarakat Karo, saya menduga-duga. Namun secara kasat mata tentu usaha ini layak ditekuni melihat pesatnya perkembangan usaha kuliner seperti rumah makan BPK ini. Bila dikelola dengan profesional tak tertutup kemungkinan usaha ini bisa di-franchise-kan. Bumbu cita rasanya dapat dijual kepada berbagai kalangan bukan saja orang Karo, sehingga nantinya masakan Karo mudah ditemukan dimana-mana dan dikenal oleh masyarakat luas.
Antonius Tanan, salah seorang direksi Group Ciputra pernah mengangkat BPK nama keren panggang Karo sabagai salah satu contoh kasus dalam seminar kewirausahaan di kalangan PAKSU (Persekutuan Alumni Sumatera Utara, suatu perkumpulan alumni beberapa universitas di Sumut). Bahkan tidak sekedar di seminar, tapi hal ini juga dituliskan dalam bukunya tentang kewirausahaan.
Menurut catatan Ir. Perdana Ginting, tahun 1972 di kota Medan BPK baru ada satu buah benama Sar Kadobang Cit terletak di Simpang Kuala milik seorang tokoh adat Karo bernama Bengkel Tarigan. Jadi bila saja dirunut berdasarkan tahun itu bisnis ini telah berusia lebih 30 tahun. Namun tampilan kebanyakan BPK tetap saja ala kadarnya, terutama mengenai kebersihan yang masih kurang.
Ini merupakan suatu bisnis yang menggiurkan karena bukan saja dapat menyerap banyak tenaga kerja tapi juga memungkinkan terciptanya suatu lingkup bisnis dari hulu hingga hilir. Bayangkan berapa banyak tenaga akan diserap disektor peternakan, perdagangan, penyelia pakan ternak dan seterusnya. Sekali lagi, menurut Perdana Ginting, bila ada 20 rumah makan BPK membutuhkan 800 kilo daging. Dengan harga Rp 10.000 per porsi berarti perputaran uang bisnis ini sekitar Rp 160.000.000 sehari per 20 unit usaha. Tentu hal ini masih dapat dikembangkan menjadi lebih besar dengan manajemen yang profesional, sehingga seorang gubernur yang si la erpantangen merasa nyaman makan di sana. Atau dengan sistem catering, kiloan, pesan-antar atau mungkin dibuat dengan sistem waralaba. Tentu harus membangun merek dagang terlebih dahulu. Anda tertarik investasi di sektor ini? Ah, ngomong-ngomong cerita soal yang satu ini, perut saya jadi lapar.
Sumber : http://www.perkantong-samping.blogspot.com
Bila kita ‘bertandang’ ke Medan rasanya belum afdol bila belum singgah di rumah makan BPK di sepanjang jalan dari Padang Bulan hingga Berastagi. Mungkin ada seratusan rumah makan yang menyuguhkan hidangan nuansa Karo tersebut. Melihat geliat bisnis panggang tersebut akal sehat saya menggelitik, seberapa besarkah kontribusi rumah makan ini bagi masyarakat Karo, saya menduga-duga. Namun secara kasat mata tentu usaha ini layak ditekuni melihat pesatnya perkembangan usaha kuliner seperti rumah makan BPK ini. Bila dikelola dengan profesional tak tertutup kemungkinan usaha ini bisa di-franchise-kan. Bumbu cita rasanya dapat dijual kepada berbagai kalangan bukan saja orang Karo, sehingga nantinya masakan Karo mudah ditemukan dimana-mana dan dikenal oleh masyarakat luas.
Antonius Tanan, salah seorang direksi Group Ciputra pernah mengangkat BPK nama keren panggang Karo sabagai salah satu contoh kasus dalam seminar kewirausahaan di kalangan PAKSU (Persekutuan Alumni Sumatera Utara, suatu perkumpulan alumni beberapa universitas di Sumut). Bahkan tidak sekedar di seminar, tapi hal ini juga dituliskan dalam bukunya tentang kewirausahaan.
Menurut catatan Ir. Perdana Ginting, tahun 1972 di kota Medan BPK baru ada satu buah benama Sar Kadobang Cit terletak di Simpang Kuala milik seorang tokoh adat Karo bernama Bengkel Tarigan. Jadi bila saja dirunut berdasarkan tahun itu bisnis ini telah berusia lebih 30 tahun. Namun tampilan kebanyakan BPK tetap saja ala kadarnya, terutama mengenai kebersihan yang masih kurang.
Ini merupakan suatu bisnis yang menggiurkan karena bukan saja dapat menyerap banyak tenaga kerja tapi juga memungkinkan terciptanya suatu lingkup bisnis dari hulu hingga hilir. Bayangkan berapa banyak tenaga akan diserap disektor peternakan, perdagangan, penyelia pakan ternak dan seterusnya. Sekali lagi, menurut Perdana Ginting, bila ada 20 rumah makan BPK membutuhkan 800 kilo daging. Dengan harga Rp 10.000 per porsi berarti perputaran uang bisnis ini sekitar Rp 160.000.000 sehari per 20 unit usaha. Tentu hal ini masih dapat dikembangkan menjadi lebih besar dengan manajemen yang profesional, sehingga seorang gubernur yang si la erpantangen merasa nyaman makan di sana. Atau dengan sistem catering, kiloan, pesan-antar atau mungkin dibuat dengan sistem waralaba. Tentu harus membangun merek dagang terlebih dahulu. Anda tertarik investasi di sektor ini? Ah, ngomong-ngomong cerita soal yang satu ini, perut saya jadi lapar.
Sumber : http://www.perkantong-samping.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih karena sudah memberikan kritik maupun saran ...Sukses buat anda.