Marga sebagai Penentu Kedudukan Seseorang dalam Pergaulan
Masyarakat Batak Toba
A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan sumber daya
alam maupun manusia. Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di
antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Ada 33
provinsi yang terdapat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu
provinsi itu adalah Sumatera Utara, tempat orang Batak berasal.
Orang Batak Toba memang berasal dari provinsi Sumatera
Utara, tepatnya dari Tapanuli Utara, atau lebih tepat lagi di dua kabupaten,
yakni Kabupaten Toba Samosir dengan Kabupaten Samosir. Orang Batak Toba berasal
dari sekitar danau Toba.
Orang Batak Toba mempunyai keunikan tersendiri dan begitu
tampak jelas dari namanya. Seperti orang Batak lainnya, orang Batak Toba
mempunyai nama marga di belakang nama mereka. Nama marga ini bukan sekedar nama
saja. Nama marga ini sebenarnya diambil dari nama-nama nenek moyang orang Batak
Toba. Nama marga ini otomatis diturunkan kepada orang toba yang baru lahir.
Akan tetapi, apa sebenarnya kegunaan dari marga ini?
Pertanyaan ini akan kita bahas dalam pembahasan selanjutnya. Akan tetapi saya
akan coba batasi saja seperti yang ada pada topik utama kita, yakni fungsinya
“sebagai penentu kedudukan seseorang dalam pergaulan masyarakat Batak Toba”.
Karya tulis singkat ini sebenarnya bukanlah suatu pemecahan
untuk suatu masalah yang berkaitan sebagai marga. Saya membuat karya tulis ini
sebagai pengantar kepada skripsi yang akan saya buat, yang temannya juga sama
dengan tema pada karya tulis ini. Jadi, karya tulis ini bisa dikatakan sebagai
suatu batu loncatan untuk skripsi saya kelak. Oleh sebab itu, saya tidak memberikan
penyelesaian masalah dalam karya tulis ini.
B. Gambaran Umum tentang Orang Batak
Masyarakat Batak Toba berasal dari Sumatera Utara,
tetapatnya di sekitar danau toba. Mungkin sekali, nama Batak Toba berasal dari
nama danau ini. Orang Batak Toba mempunyai kebiasaan yang unik dalam pemberian
nama, yakni adanya tambahan nama marga di belakang nama asli.
Orang Batak Toba merupakan masyarakat yang tinggal di
sekitar pegunungan di danau Toba. Secara geografis orang Batak Toba berada
persis di tengah-tengah atau pusat tempat perkembangan suku-suku Batak yang
lain.
1. Di utara, mereka berbatasan dengan Kabupaten Karo, tempat
populasi orang-orang dari suku Batak Karo berada.
2. Di barat, mereka berbatasan dengan Kabupaten Pakpak atau
Dairi, tempat populasi orang-orang dari suku Batak Pakpak berada.
3. Di timur, mereka berbatasan dengan Kabupaten Simalungun,
tempat populasi orang-orang dari suku Batak Simalungun berada.
4. Di selatan, mereka berbatasan dengan daerah Tapanuli
Selatan, tempat populasi orang-orang dari suku Batak Angkola, Batak Mandailing
dan orang-orang Tapanuli Selatan lain berada.
Kita melihat bahwa secara geografis tempat berdiamnya
orang-orang Batak Toba ini berada persis di tengah-tengah dan bisa dikatakan di
pusat. Akan tetapi, keadaan mereka tidak segampang dan seberuntung yang kita
lihat. Daerah-daerah yang didiami orang-orang Batak Toba terletak di dataran
tinggi yang sulit dijangkau. Maka dari itu, daerah-daerah tersebut sangat
lambat berkembang.
Dari letak geografisnya ini juga, kita dapat mengetahui
bahwa sebagian besar orang Batak Toba terletak di daerah dataran tinggi.
Dibandingkan dengan dataran tinggi ini dataran rendah jauh lebih sedikit.
Masyarakat Batak Toba mempunyai sumber penghasilan sebagai petani dan nelayan.
Salah satu hasil pertanian yang cukup terkenal dari masyarakat Batak Toba
adalah kopi. Disebutkan juga bahwa nasi sebagai bahan makanan yang utama dan
banyak diusahakan oleh masyarakat Batak Toba pada umumnya.
Selain bertani, masyarakat Batak Toba juga berprofesi
sebagai nelayan. Profesi ini banyak diusahakan terutama oleh mereka yang
tinggal di pesisir danau toba. Mereka menggantungkan kehidupan mereka dari ikan
yang mereka tangkap di danau toba. Ikan yang terkenal dan menjadi makanan yang
khas bagi masyarkak Batak Toba adalah apa yang sering mereka sebut sebagai ikan
“jahir” dan ikan mas. Selain sebagai makanan sehari-hari, kedua jenis ikan ini
juga sering dijadikan sebagai salah satu masakan syarat dalam acara adat
masyarakat Batak Toba.
Masyarakat Batak Toba juga sangat mengandalkan hasil dari
hutan-hutan mereka. Hasil hutan yang terkenal sejak jaman dahulu kala adalah
kapur batus, rotan, kemenyan dan kulit manis. Kekayaan hutan yang ada di
sekitar danau toba telah membuat hasil hutan menjadi salah satu komoditi yang begitu
penting dalam perekonomian orang Batak pada umumnya dan Batak Toba pada
khususnya.
Semua hasil yang mereka dapatkan lalu dijual di suatu tempat
yang namanya “onan”. Onan berlangsung pada hari-hari tertentu saja, mungkin
sekali atau dua kali dalam seminggu dan sering disebut sebagai onan godang dan
onan metmet (hari pekan besar dan pekan kecil). Sering disebut juga onan balga
dan onan manogot-nogot (pekan besar atau pekan pagi. Onan memang tempat orang
Batak pada umumnya berdagang. Akan tetapi, pengunjung lebih banyak menonton
daripada bertransaksi. Oleh sebab itu, fungsi onan tidak hanya untuk jual beli.
Onan juga ternyata dapat berfungsi sebagai tempat bertemu dan tempat
bersosialisasi bagi masyarakat Batak Toba.
Ada satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan dari daerah
ini. Pariwisata juga menjadi salah satu sumber penghasilan yang penting. Bagian
ini berkembang dengan begitu pesatnya terutama pada satu dasawarsa terakhir.
Keindahan alam danau toba memang telah menghipnotis banyak wisatawan untuk berkunjung
ke tempat ini. Kita dapat melihat betapa besarnya perkembangan di bidang
pariwisata ini bahkan hingga jaman sekarang.
Orang Batak Toba juga tidak mengenal suatu pusat
pemerintahan. Tidak ada suatu pusat kerajaan bagi masyarakat toba. Masyarakat
Batak Toba tidak mempunyai suatu raja yang menguasai beberapa daerah, seperti
mataram, sriwijaya, majapahit dan sebagainya. Orang Batak Toba memiliki
pemimpin mereka sendiri-sendiri dalam satu kampung. Setiap kampung adalah suatu
kerajaan sendiri yang independent. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak memang
mempunyai kelompok kecil yang dinamakan sebagai kampung dan yang tertinggi yang
dia sebut suku. Meskipun demikian dia juga tidak menyangkal bahwa kampung
sebagai satu persekutuan masyarakat. Dengan kata lain, segala sesuatu yang
berkaitan dengan masalah sosial, politik, hukum, pertahanan dan keamanan berada
dalam ruang lingkup kampung saja.
C. Mitos
Bungaran Antonius Simanjuntak, dalam bukunya yang berjudul,
“Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba, hinggal 1945”, mengawali
penjelasannya mengenai marga dengan sebuah cerita mitos yang berdar dalam
masyarakat Batak Toba. Saya mengambil sepenuhnya cerita dalam mitos itu untuk
bagian yang ketiga dari karya tulis saya ini. Saya mengambilnya karena menurut
saya, cerita yang dituliskan oleh Bungaran Antonius Simanjuntak ini sangat
padat dan cukup jelas. Jadi, saya memilihnya karena tidak ada versi lain.
Menurut cerita tentang asal-usul orang Batak dikatakan bahwa
nenek moyang mereka adalah seorang putri surga bernama Siboru Deak Parujar,
yang oleh Debata Mulajadi Nabolon dikawinkan dengan raja Odap-odap, juga
berasal dari surga. Perkawinan mereka lahir sepasang anak kembar bernama Ihot
Manisia dan Boru Ihot Manisia (perempuan). Kemudian keduanya menikah dan melahirkan
tiga anak, yaitu raja Miok-miok, Patundal na Begu, dan Siaji lapas-lapas. Raja
Miok-miol mempunyai anak bernama Eng Banua. Kedua saudara Raja Miok-miok tidak
diketahui kabarnya oleh orang Batak. Eng Banua mempunyai tiga anak bernama Raja
Bonang-bonang, Siraja Atseh, Si Raja Jau. Orang Batak keturunan Raja
Bonang-bonang, kedua saudaranya juga tidak diketahui kemudian. Kemungkinan dari
nama tersebut Si Raja Atseh menurunkan orang Aceh dan Si Raja Jau menurunkan
orang Minangkabau atau orang Jawa (orang Batak sering menamakan orang Jawa
dengan lafal jau). Hal ini tidak jelas sampai sekarang.
Di dalam mitos disebutkan bahwa Si Raja Bonang-bonang hanya
punya satu anak bernama Guru Tantan Debata, yang anaknya bernama Si Raja Batak.
Lalu, anak Si Raja Batak ada dua yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon.
Dari kedua orang ini berkembang marga-marga yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat Batak. Dari keturunan Guru Tatea Bulan muncul marga-marga Lontung
dan dari Raja Isumbaon muncul kelompok marga-marga Sumba. Kedua kelompok ini
merupakan induk marga-marga Batak. Dengan adanya kedua kedua kelompok marga
tersebut maka terlihat bahwa pembagian marga-marga Batak dipisahkan oleh adanya
mitos tersebut.
Saya berharap mitos di atas dapat menunjukkan bahwa orang Batak
Toba juga mempunyai tradisi yang cukup kuno mengenai asal mula keberadaan
mereka. Tradisi ini dipengang teguh oleh semua masyarakat Batak Toba sampai
sekarang. Bahkan dalam acara adat dan perkenalan, cerita ini juga sering
menjadi patokan setiap orang, terutama pada bagian terakhir. Bagian yang
menyebapkan terbagi duanya kelompok marga orang Batak Toba.
D. Marga sebagai penentu Status dalam Masyarakat
Orang Batak adalah suku yang mempunyai keunikan sendiri
dalam hal kekerabatan. Orang Batak sangat mudah dikenali dari namanya. Orang
Batak selalu mengenakan nama keluarga di belakang namanya, yang sering disebut
dengan “marga”.
Bahkan ada juga dalam “umpama” orang Batak yang mengatakan:
Jolo tinitip sanggar asa binahen huru-huruan
jolo sinukkun marga asa binoto partuturan
Umpama di atas mau mengatakan bahwa tatakrama perkenalan
dalam budaya orang Batak bukan pertama-tama menanyakan nama tetapi dengan menanyakan
marga terlebih dahulu. Marga menjadi suatu bagian penting dalam tatakrama
perkenalan orang Batak.
Contohnya: Pada suatu ketika saya berjumpa dengan seseorang.
Sebelum berkenalan dengannya, saya mendengar dia memakai bahasa Batak. Saya
lalu bertanya kepadanya: “Horas lae, apa marga lae?” Lalu dia akan menjawab,
“Situmorang lae. Dan lae?”
Saya akan menjawabnya, “Aku juga Situmorang. Berarti kita
harus panggil apara”. Kemudian, perkenalan akan terus berlanjut hingga
mengurut, keturunan Situmorang yang mana, keturunan keberapa dari Situmorang
yang dimaksud, sampai kepada asal dari marganya.
Perkenalan ini akan terus berlanjut sampai semua silsilah
Situmorang terungkap dan mereka menemukan titik temu nenek moyang mereka, tanpa
saling tahu nama masing-masing. Mereka hanya menanyakan marga dan mereka dapat
meletakkan posisi mereka sebagai apa dalam keturunan mereka dan dapat saling
menyapa dengan akrabnya. Mereka mungkin masih tidak tahu nama masing-masing,
tapi mereka yakin bahwa mereka adalah saudara. Mereka yakin bahwa posisi mereka
dalam tatanan sosial adalah kakak, om, keponakan atau bahkan kakek atau cucu,
walau nota bene umur mereka tidak jauh berbeda.
Dari contoh di atas, saya melihat bahwa fenomena ini sangat
unik dan pantas diangkan menjadi suatu karya tulis mengenai filsafat budaya.
Ini sangat unik karena mungkin hanya dimiliki oleh orang Batak saja.
Menurut kamus budaya Batak Toba, karangan M. A. Marbun dan
I. M. T. Hutapea, marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara,
sedara, seketurunan menurut garis bapak, yang mempunyai tanah sebagai milik
bersama di tanah asal atau tanah leluhur, yang sering disebut oleh orang Batak
Toba sebagai “bona ni pasogit”. Bisa dikatakan bahwa marga adalah tanda ataupun
salah satu petunjuk untuk menentukan garis keturunan dan menentukan hubungan
kekeluargaan bagi orang-orang Batak Toba.
Marga juga bisa menjadi penentu kedudukan seseorang dalam
pergaulan masyarakat Batak Toba. Seperti yang telah saya ceritakan dalam contoh
di atas, marga sangat penting ketika hendak berkenalan. Dari sini,
masing-masing orang akan mencoba mengurut garis keturunan mereka masing-masing
sampai garis keturunan yang paling awal.
Orang-orang Batak Toba akan sangat mudah menentukan
kedudukan mereka masing-masing setelah mengurut garis keturunan ini. Dari sini,
setiap orang akan tahu apa hubungan mereka dengan orang lain, panggilan apa
yang pantas mereka berikan kepada orang yang baru saja mereka kenal tersebut.
Usia boleh sama, tetapi dalam pergaulan mereka harus kembali melihat posisi
mereka melalui marga yang mereka sandang pada bagian belakang nama mereka.
Setiap orang Batak tidak serta mereta bisa menganggap orang lain setara dengan
mereka. Bisa saja mereka harus memanggil kakak, om, paman atau bahkan kakek
kepada orang yang mungkin masih seusia dengan mereka.
Selain dari marga pihak laki-laki, penenentuan kedudukan
melalui marga ini bisa juga ditentukan melalui pihak perempuan. Misalnya, dari
istri masing-masing orang, istri kakak atau adik, atau suami saudari kita, dari
ibu, atau bahkan dari nenek. Penentuan ini pun sangat dapat mempengaruhi posisi
masing-masing orang dalam pergaulan mereka sehari-hari bahkan dalam acara adat.
Dengan demikian, marga bisa dikatakan sebagai penentu status
sosial bagi masyarakat Batak. Peran marga sangat penting dalam hal ini. Ini
menjadi suatu penanda dan menjadi identitas penting bagi masyarakat Batak pada
umumnya dan Batak Toba khususnya.
E. Penutup
Kita telah melihat bahwa orang Batak pada umumnya dan orang
Batak Toba pada khususnya, sangat memegang teguh tradisi penentuan garis
keturunan melalui marga ini. Memang pada saat ini, kita tidak dapat memastikan
bahwa marga itu sudah ada sejak jaman nenek moyang orang-orang Batak. Ini masih
berupa mitos. Walaupun demikian, orang Batak percaya bahwa marga dapat
menunjukkan kepada mereka siapa nenek moyang mereka dan dari mana mereka
berasal.
Marga juga menjadi penentu status sosial bagi masing-masing
orang Batak Toba. Orang Batak sangat memegang teguh peraturan ini. Ini tidak
boleh dilanggar dan sudah menjadi seperti hukum bagi setiap orang Batak. Dalam
perkenalan, setiap orang Batak wajib menanyakan marga terlebih dahulu. Marga
adalah hal yang paling esensial untuk ditanyakan. Oleh sebab itu, orang Batak
wajib mengetahui partuturan mereka.
Partuturan ini hanya dapat diketahui dari marga mereka
masing-masing. Orang-orang Batak yang tidak mengetahui tentang marga yang
mereka sandang di belakang nama mereka masing-masing akan dicap sebagai Batak
nalilu . Seseorang yang mengaku diri orang Batak tetapi tidak tahu tentang
marga mereka kadang dikucilkan dari kehidupan sosial. Maka sangat penting bagi
setiap orang Batak untuk mengetahui garis keturunan mereka masing-masing.
Jangan sampai dicap sebagai orang Batak nalilu. Orang Batak yang tida pantas
disebut sebagai orang Batak.
Ini sebenarnya ironis. Bagaimana mungkin suatu yang sangat
esensial dan penting seperti marga, tidak diketahui asal pastinya? Bagaimana
mungkin sejarah awal mula itu hanya sebagat mitologi semata? Lalu, bagaimana
orang Batak bisa mengatakan diri sebagai kelompok yang memiliki tradisi yang
sangat kuat dan masih layak untuk dipertahankan sampai sekarang?
Walaupun demikian, ini adalah suatu keyakinan yang
sudahsangat berakar dalam diri setiap orang Batak Toba. Ini tidak boleh lagi
diganggu gugat. Tradisi ini sangat khas dan tidak dimiliki oleh orang lain atau
dalam suku-suku lainnya di Indonesia. Maka, kita pun perlu menghargai dan
mempertahankannya.
Daftar Pustaka
Simanjuntak Antonius Bungaran, Struktur Sosial dan Sistem
Politik Batak Toba Hingga 1945, Yogyakarta: Obor, 2006,
Vergouwen C. J, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,
Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004
Marbun A. M. dan I. M. T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba,
Jakarta: Balai Pustaka, 1987
http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_pulau_di_Indonesia,
browsing, (17 November, 07.45 WIB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih karena sudah memberikan kritik maupun saran ...Sukses buat anda.