Keringatku mengalir bagai mengucur deras dari setiap pori-pori tubuhku. Kutelan ludah dalam gumpalan kesal yang tak menentu. Hatiku meringis, menangis tak mampu bersuara. Kutarik nafas dalam-dalam dan mencoba membuang seluruh kesal yang berkelana menghantuiku. Badanku seketika terasa lemas bagai tak bernyawa.
Sungguh! Ini terlalu sakit, tetapi aku bersyukur akhirnya aku mengetahui siapa orang yang selama ini kubanggakan. Siapa lelaki yang sejauh hari ini dengan setia menemani hari-hariku. Siapa lelaki yang mencoba menepis kesunyian di nuraniku. Bathinku keluh --dadaku terasa sesak-- hampa!
Facebook! Entah udah berapa kali aku menemui kekasihku bermesraan dengan perempuan lain lewat kata-kata via facebook dan sms di hp-nya. Dan hari ini aku menemuinya kembali. Aku mendapati kekasihku mengirim message via facebook kepada seorang wanita yang berinisial “Cinta”. Aku tak mengerti siapa perempuan itu, tetapi yang jelas aku kecewa karena ternyata selama ini dia mengkhianatiku, walau aku sendiri tak tahu pasti apa maksudnya mengirimkan pesan seperti itu pada perempuan bernama cinta.
Meski rasanya sakit, tetapi aku bersyukur akhirnya aku tahu siapa dia sebenarnya. Selama ini aku mengira bahwa semua kata-kata “Love You” yang pernah diucapkannya padaku hanya semata-mata untukku. Tetapi ternyata tidak. Ada sosok lain yang juga mendapatkan kata-kata yang sama seperti yang pernah dan sering kudapatkan darinya. Aku kecewa tapi mungkin inilah jalan yang terbaik yang Allah tunjukkan untukku. Cinta memang tak selamanya harus memiliki, dan hakikat cinta dengan keinginan untuk memiliki itu berbeda.
Aku mencoba menahan gejolak emosi yang membabi buta di relungku, tetapi aku tak bisa. Aku tak tahu pasti apa yang kulakukan ini benar atau tidak, tetapi yang jelas aku tak ingin lagi berlarut-larut memikirkan dia. Jika cinta mata ia akan menunjukkan jalannya sendiri, tetapi jika semua adalah kepalsuan, cepat atau lambat pun pasti akan terbongkar. Tuhan punya cara tersendiri untuk menunjukkan siapa yang sebenarnya mencintaiku dengan hatinya, dan siapa pula yang hanya ingin mempermainkanku. Yach! Karma itu tetap ada, walau seringkali kita berusaha memungkirinya.
Kini aku baru sadar betapa agungnya jadi seorang yang dicintai daripada harus mempertahankan orang yang kita cintai, tetapi tak mencintai. Aku bukan sang peramal hati, aku juga bukan paranormal yang mengerti isyarat hati atau sekedar membaca lambang-lambang kabur di matanya.
Aku seringkali menutup diriku, menutup apa yang kurasakan. Memendam keraguan dan tanda tanya yang sebenarnya ingin kuungkapkan. Tetapi aku tak punya nyali walau sekedar hanya untuk mengatakan bahwa ‘aku cemburu!’ Mungkin ini tak adil bagiku. Di saat aku ingin belajar mencintai --cinta itu justru penuh kepalsuan. Aku pernah menyakiti hati yang tulus dan sungguh-sungguh ingin menjagaku, tetapi aku pelan-pelan melepas ikatannya dengan berbagai alasan. Dan hari ini, saat aku ingin cinta yang sesungguhnya, cinta justru menghilang bagai bersembunyi dibalik kabut yang kelam.
Hari ini kusaksikan di depan cermin --di kamarku, airmataku berlinang lagi, menetes bagai tak kenal dimana muaranya. Ia tumpah bagai air hujan yang deras. Aku tak kuasa membendungnya. Dadaku sesak saat kuingat kejadian siang tadi di warnet.
Diary... Kenapa Reza tega melakukan itu padaku? Selama ini Reza hanya mengucapkan kata-kata ‘Love You’ untukku --pacarnya, tetapi ternyata tidak! Ada perempuan lain yang juga ia katakan ‘love you’. Entah itu hanya iseng atau sekedar bercanda baginya, namun bagiku itu tak layak dijadikan bahan canda’an.
Jika kata-kata itu terlalu mudah ia ucapkan ke semua orang, berarti tak lagi agung seperti yang ada dalam pemikiranku lah kata-kata itu. Tuhan, terima kasih engkau tunjukkan aku cara untuk mencari jati diriku di hati Reza. Mulai hari ini aku titipkan rindu hanya untuk-Mu. Aku terlalu cengeng jika harus menangis hanya karena Reza, aku terlalu bodoh jika harus cemburu pada orang yang mungkin salah kutitipkan cinta. Pada orang yang mungkin tak pernah mencintaiku.
Selepas menuliskan sepenggal kata-kata dalam diaryku, akupun membaringkan tubuhku ke tempat tidur. Kulemparkan pandangan dalam semunya malam yang larut diantara pendar kaca hatiku yang retak bagai puing yang berantakkan.
Hatiku meringis, tetapi aku mencoba tersenyum. Mungkin kini urat cemburuku telah putus. Atau bahkan mungkin pula hatiku yang telah beku karena kepalsuan yang selama ini ia sembunyikan. Bagai bangkai seekor anjing, meski ditutupi di ruang hampa sekalipun, baunya pasti cepat atau lambat akan tercium. Jarum jam menunjukkan angka pukul sepuluh malam, Reza menelponku. Kami ngobrol ini dan itu. Dimulai dengan obrolan ringan, namun berakhir pada suatu perbincangan serius. “…………..”
“Love you”, ucapnya via telpon dari seberang sana. Mendengar kata-kata itu hatiku berontak. “Dia jangan pernah bilang kata-kata itu ke Wiwit lagi ya?” Pintaku. “Kenapa? Memangnya salah ya kalau Reza ngomong gitu ke dia?” Tanyanya kembali. Aku mendesah pelan, hampir tak terdengar.
“Ya! Salah jika dia mengatakan itu pada semua perempuan. Salah, jika dia pikir dia bisa membodohi Wiwit hanya dengan kata-kata seperti itu”. Ucapku yang emosinya hampir sampai di ubun-ubun.
“Tolong jelasin ke Reza, Wit? Apa maksudnya?” “Untuk apa?” “Agar Reza mengerti dimana salah Reza”, ucapnya.
“Wiwit tidak suka dia ngucapin kata-kata love you lagi ke Wiwit, kalau lah kata-kata seperti itu bukan hanya dia ucapkan untuk Wiwit. Selama ini Wiwit kira dia hanya mengucapkan kata-kata itu untuk Wiwit, tapi ternyata tidak, ada perempuan lain yang juga dia ucapkan seperti itu”, jawabku. Belum lagi dia sempat mengeluarkan kata-kata, aku langsung menyambung ucapanku “…kalau dia berniat ingin membagi cinta, dia salah orang!” Ucapku.
“Reza gak pernah ngomong seperti itu pada perempuan manapun kecuali dia, kecuali Wiwit dan Chaca --adik sepupu Reza”, jawabnya. Aku tersenyum kecut, sangat kecut malahan. “Chaca? Memangnya Chaca yang sekecil itu bisa jadi perempuan kelahiran ’90 ya?”, sindirku. “Wit, masak sich sama Chaca pun dia cemburu?” Tanyanya.
“Wiwit gak cemburu! Sama sekali tidak, walaupun awalnya iya”, ucapku. “Reza gak pernah ngucapin cinta sejak jadian sama dia ke orang lain kecuali adik Reza --Chaca”, bantahnya lagi. “Udahlah, hal yang udah benar-benar Wiwit tahu saja pun dia masih bisa menyangkal, bagaimana dengan hal yang sama sekali tidak Wiwit tahu?” Keluhku. “Wiwit kecewa sama dia..” Lanjutku.
Siang itu mentari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Ia membiarkan biasan sinarnya mengikis kesepianku. Tiba-tiba Reza datang menghampiriku saat aku sedang duduk disalah satu kursi --di kantin kampus. “Hai...”, sapanya sambil merangkulku dari belakang. Aku membalas sapaannya dengan senyuman. “Darimana?” Tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku, melainkan menawarkanku sebuah coklat chocolates kesukaannya. “Mau coklat?” Tanyanya sambil menyodorkan chocolates padaku. Aku mengangguk, dan dia pun memberikanku sebatang coklat itu untukku.
Entah kapan awal pertamakali Reza memberiku coklat, tetapi yang jelas sejak saat itu aku jadi menyukai coklat! Yach, coklat jenis apa saja --asal Reza yang memberikannya. Sulit untuk menepis perasaanku ke Reza walaupun aku tahu mencintainya kerapkali membuat hatiku sakit. Aku tahu cinta memang tak selamanya harus bersama, tetapi aku masih ingin bersama Reza, melukiskan kisah hidupku pada scenario hidup yang kuukir lewat kanvas impianku.
Tak jarang aku dan Reza sering salah paham, cemburu dan entah apalagi sejenisnya. Aku sering menangis karenanya, namun akupun sering tertawa karenanya. Mungkinkah inilah cinta yang harus kumengerti, yang mestinya kupahami. Senja mulai tampak kemerahan di ufuk barat, sekumpulan bangau pelan-pelan mulai berarak ke sarangnya. Kusaksikan langit petang yang terbias cahaya kuning keemasan. Inilah peristiwa senja, --senja yang akan menutup lembaran cerita hari ini dan menggantinya dengan cerita baru untuk kisah-kisah berikutnya.
Boneka beruang! Aku memeluknya erat-erat, dulu Reza pernah memberikanku boneka beruang ini saat kami jalan-jalan ke sebuah toko boneka, dan dia memberikanku boneka Beruang ini. Sudah lama aku menginginkan boneka ini --aku sengaja mengumpulkan sebagian uangku untuk membeli boneka ini, tetapi kini aku telah memilikinya.
Banyak kisah yang tertuang dari saksi bisu hidupku. Dari venesia --yang selalu mengetahui setiap tetes airmataku yang kerapkali jatuh saat aku menahan sakit yang teramat sangat. Dari kodok --yang menjadi saksi saat aku keliling kota Medan bersama bang Dhani untuk mencari rumah kost-an. Rabbit yang menjadi saksi saat satu valentine, Bambang memberikannya untukku. Dan Donald Bebek yang kubeli di salah satu malam saat aku berada di mall untuk menghilangkan penat yang membara di benakku.
Ingin kutulis banyak cerita tentang hari ini, kemarin dan esok, namun jemariku telah lelah --jarum jam memaksa mataku untuk sekedar terlelap sebentar. Ku shut down komputerku, akupun menarik selimut tebalku, lalu selanjutnya memejamkan mataku agar aku bisa menjemput harapanku lewat mimpi-mimpi indah dalam rangkaian imajinasiku.
Aku berharap kelak suatu hari nanti aku bisa menemukan cinta --yach! Cinta yang tidak sekedar ingin mempermainkanku, tetapi cinta yang benar-benar bersedia ada untukku --menemani hari-hariku, menepis keluh dan kesah yang terbenam di asaku.
Sejauh hari ini aku tak pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Reza benar-benar menduakan cinta pada perempuan lain, tetapi entah berapakali sudah aku mendapati kata-kata mesra di hp-nya dari seorang perempuan yang tak kukenal. Dan baru kemarin aku membaca send message di facebooknya, disana tertulis ‘6 January 2010’ ada sebuah item terkirim yang sengaja dikirimnya kesalah satu teman facebooknya. ‘Love you’ begitulah isi pesan singkat itu.
Ya! Singkat dan jelas. Bagai diiris sembilu perihnya hatiku saat itu. Aku menangis dalam hati --tak pernah menyangka Reza tega melakukan itu di belakangku. Airmataku ingin tumpah, tapi tak jatuh! Ia menggenang di pelupuk mataku, membentuk gelombang-gelombang kehancuran yang tak pernah kuharapkan.
Kini aku mengerti bahwa cinta hanya pura-pura, kini aku paham cinta itu tuli --aku tak mau tahu, aku tak mendengar semua penilaian orang tentang Reza, yang kudengarkan adalah isi hatiku, isi hati yang mengatakan bahwa aku mencintainya. Cinta itu buta --walau kerapkali aku merasa sakit karenanya, namun aku buta! Aku tak mampu melihat cinta yang lain, aku menutup hatiku untuk setiap cinta yang datang, semua hanya untuk mempertahankan hatiku pada Reza. ***
Sumber : http://www.analisadaily.com
Sungguh! Ini terlalu sakit, tetapi aku bersyukur akhirnya aku mengetahui siapa orang yang selama ini kubanggakan. Siapa lelaki yang sejauh hari ini dengan setia menemani hari-hariku. Siapa lelaki yang mencoba menepis kesunyian di nuraniku. Bathinku keluh --dadaku terasa sesak-- hampa!
Facebook! Entah udah berapa kali aku menemui kekasihku bermesraan dengan perempuan lain lewat kata-kata via facebook dan sms di hp-nya. Dan hari ini aku menemuinya kembali. Aku mendapati kekasihku mengirim message via facebook kepada seorang wanita yang berinisial “Cinta”. Aku tak mengerti siapa perempuan itu, tetapi yang jelas aku kecewa karena ternyata selama ini dia mengkhianatiku, walau aku sendiri tak tahu pasti apa maksudnya mengirimkan pesan seperti itu pada perempuan bernama cinta.
Meski rasanya sakit, tetapi aku bersyukur akhirnya aku tahu siapa dia sebenarnya. Selama ini aku mengira bahwa semua kata-kata “Love You” yang pernah diucapkannya padaku hanya semata-mata untukku. Tetapi ternyata tidak. Ada sosok lain yang juga mendapatkan kata-kata yang sama seperti yang pernah dan sering kudapatkan darinya. Aku kecewa tapi mungkin inilah jalan yang terbaik yang Allah tunjukkan untukku. Cinta memang tak selamanya harus memiliki, dan hakikat cinta dengan keinginan untuk memiliki itu berbeda.
Aku mencoba menahan gejolak emosi yang membabi buta di relungku, tetapi aku tak bisa. Aku tak tahu pasti apa yang kulakukan ini benar atau tidak, tetapi yang jelas aku tak ingin lagi berlarut-larut memikirkan dia. Jika cinta mata ia akan menunjukkan jalannya sendiri, tetapi jika semua adalah kepalsuan, cepat atau lambat pun pasti akan terbongkar. Tuhan punya cara tersendiri untuk menunjukkan siapa yang sebenarnya mencintaiku dengan hatinya, dan siapa pula yang hanya ingin mempermainkanku. Yach! Karma itu tetap ada, walau seringkali kita berusaha memungkirinya.
Kini aku baru sadar betapa agungnya jadi seorang yang dicintai daripada harus mempertahankan orang yang kita cintai, tetapi tak mencintai. Aku bukan sang peramal hati, aku juga bukan paranormal yang mengerti isyarat hati atau sekedar membaca lambang-lambang kabur di matanya.
Aku seringkali menutup diriku, menutup apa yang kurasakan. Memendam keraguan dan tanda tanya yang sebenarnya ingin kuungkapkan. Tetapi aku tak punya nyali walau sekedar hanya untuk mengatakan bahwa ‘aku cemburu!’ Mungkin ini tak adil bagiku. Di saat aku ingin belajar mencintai --cinta itu justru penuh kepalsuan. Aku pernah menyakiti hati yang tulus dan sungguh-sungguh ingin menjagaku, tetapi aku pelan-pelan melepas ikatannya dengan berbagai alasan. Dan hari ini, saat aku ingin cinta yang sesungguhnya, cinta justru menghilang bagai bersembunyi dibalik kabut yang kelam.
Hari ini kusaksikan di depan cermin --di kamarku, airmataku berlinang lagi, menetes bagai tak kenal dimana muaranya. Ia tumpah bagai air hujan yang deras. Aku tak kuasa membendungnya. Dadaku sesak saat kuingat kejadian siang tadi di warnet.
Diary... Kenapa Reza tega melakukan itu padaku? Selama ini Reza hanya mengucapkan kata-kata ‘Love You’ untukku --pacarnya, tetapi ternyata tidak! Ada perempuan lain yang juga ia katakan ‘love you’. Entah itu hanya iseng atau sekedar bercanda baginya, namun bagiku itu tak layak dijadikan bahan canda’an.
Jika kata-kata itu terlalu mudah ia ucapkan ke semua orang, berarti tak lagi agung seperti yang ada dalam pemikiranku lah kata-kata itu. Tuhan, terima kasih engkau tunjukkan aku cara untuk mencari jati diriku di hati Reza. Mulai hari ini aku titipkan rindu hanya untuk-Mu. Aku terlalu cengeng jika harus menangis hanya karena Reza, aku terlalu bodoh jika harus cemburu pada orang yang mungkin salah kutitipkan cinta. Pada orang yang mungkin tak pernah mencintaiku.
Selepas menuliskan sepenggal kata-kata dalam diaryku, akupun membaringkan tubuhku ke tempat tidur. Kulemparkan pandangan dalam semunya malam yang larut diantara pendar kaca hatiku yang retak bagai puing yang berantakkan.
Hatiku meringis, tetapi aku mencoba tersenyum. Mungkin kini urat cemburuku telah putus. Atau bahkan mungkin pula hatiku yang telah beku karena kepalsuan yang selama ini ia sembunyikan. Bagai bangkai seekor anjing, meski ditutupi di ruang hampa sekalipun, baunya pasti cepat atau lambat akan tercium. Jarum jam menunjukkan angka pukul sepuluh malam, Reza menelponku. Kami ngobrol ini dan itu. Dimulai dengan obrolan ringan, namun berakhir pada suatu perbincangan serius. “…………..”
“Love you”, ucapnya via telpon dari seberang sana. Mendengar kata-kata itu hatiku berontak. “Dia jangan pernah bilang kata-kata itu ke Wiwit lagi ya?” Pintaku. “Kenapa? Memangnya salah ya kalau Reza ngomong gitu ke dia?” Tanyanya kembali. Aku mendesah pelan, hampir tak terdengar.
“Ya! Salah jika dia mengatakan itu pada semua perempuan. Salah, jika dia pikir dia bisa membodohi Wiwit hanya dengan kata-kata seperti itu”. Ucapku yang emosinya hampir sampai di ubun-ubun.
“Tolong jelasin ke Reza, Wit? Apa maksudnya?” “Untuk apa?” “Agar Reza mengerti dimana salah Reza”, ucapnya.
“Wiwit tidak suka dia ngucapin kata-kata love you lagi ke Wiwit, kalau lah kata-kata seperti itu bukan hanya dia ucapkan untuk Wiwit. Selama ini Wiwit kira dia hanya mengucapkan kata-kata itu untuk Wiwit, tapi ternyata tidak, ada perempuan lain yang juga dia ucapkan seperti itu”, jawabku. Belum lagi dia sempat mengeluarkan kata-kata, aku langsung menyambung ucapanku “…kalau dia berniat ingin membagi cinta, dia salah orang!” Ucapku.
“Reza gak pernah ngomong seperti itu pada perempuan manapun kecuali dia, kecuali Wiwit dan Chaca --adik sepupu Reza”, jawabnya. Aku tersenyum kecut, sangat kecut malahan. “Chaca? Memangnya Chaca yang sekecil itu bisa jadi perempuan kelahiran ’90 ya?”, sindirku. “Wit, masak sich sama Chaca pun dia cemburu?” Tanyanya.
“Wiwit gak cemburu! Sama sekali tidak, walaupun awalnya iya”, ucapku. “Reza gak pernah ngucapin cinta sejak jadian sama dia ke orang lain kecuali adik Reza --Chaca”, bantahnya lagi. “Udahlah, hal yang udah benar-benar Wiwit tahu saja pun dia masih bisa menyangkal, bagaimana dengan hal yang sama sekali tidak Wiwit tahu?” Keluhku. “Wiwit kecewa sama dia..” Lanjutku.
Siang itu mentari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Ia membiarkan biasan sinarnya mengikis kesepianku. Tiba-tiba Reza datang menghampiriku saat aku sedang duduk disalah satu kursi --di kantin kampus. “Hai...”, sapanya sambil merangkulku dari belakang. Aku membalas sapaannya dengan senyuman. “Darimana?” Tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku, melainkan menawarkanku sebuah coklat chocolates kesukaannya. “Mau coklat?” Tanyanya sambil menyodorkan chocolates padaku. Aku mengangguk, dan dia pun memberikanku sebatang coklat itu untukku.
Entah kapan awal pertamakali Reza memberiku coklat, tetapi yang jelas sejak saat itu aku jadi menyukai coklat! Yach, coklat jenis apa saja --asal Reza yang memberikannya. Sulit untuk menepis perasaanku ke Reza walaupun aku tahu mencintainya kerapkali membuat hatiku sakit. Aku tahu cinta memang tak selamanya harus bersama, tetapi aku masih ingin bersama Reza, melukiskan kisah hidupku pada scenario hidup yang kuukir lewat kanvas impianku.
Tak jarang aku dan Reza sering salah paham, cemburu dan entah apalagi sejenisnya. Aku sering menangis karenanya, namun akupun sering tertawa karenanya. Mungkinkah inilah cinta yang harus kumengerti, yang mestinya kupahami. Senja mulai tampak kemerahan di ufuk barat, sekumpulan bangau pelan-pelan mulai berarak ke sarangnya. Kusaksikan langit petang yang terbias cahaya kuning keemasan. Inilah peristiwa senja, --senja yang akan menutup lembaran cerita hari ini dan menggantinya dengan cerita baru untuk kisah-kisah berikutnya.
Boneka beruang! Aku memeluknya erat-erat, dulu Reza pernah memberikanku boneka beruang ini saat kami jalan-jalan ke sebuah toko boneka, dan dia memberikanku boneka Beruang ini. Sudah lama aku menginginkan boneka ini --aku sengaja mengumpulkan sebagian uangku untuk membeli boneka ini, tetapi kini aku telah memilikinya.
Banyak kisah yang tertuang dari saksi bisu hidupku. Dari venesia --yang selalu mengetahui setiap tetes airmataku yang kerapkali jatuh saat aku menahan sakit yang teramat sangat. Dari kodok --yang menjadi saksi saat aku keliling kota Medan bersama bang Dhani untuk mencari rumah kost-an. Rabbit yang menjadi saksi saat satu valentine, Bambang memberikannya untukku. Dan Donald Bebek yang kubeli di salah satu malam saat aku berada di mall untuk menghilangkan penat yang membara di benakku.
Ingin kutulis banyak cerita tentang hari ini, kemarin dan esok, namun jemariku telah lelah --jarum jam memaksa mataku untuk sekedar terlelap sebentar. Ku shut down komputerku, akupun menarik selimut tebalku, lalu selanjutnya memejamkan mataku agar aku bisa menjemput harapanku lewat mimpi-mimpi indah dalam rangkaian imajinasiku.
Aku berharap kelak suatu hari nanti aku bisa menemukan cinta --yach! Cinta yang tidak sekedar ingin mempermainkanku, tetapi cinta yang benar-benar bersedia ada untukku --menemani hari-hariku, menepis keluh dan kesah yang terbenam di asaku.
Sejauh hari ini aku tak pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Reza benar-benar menduakan cinta pada perempuan lain, tetapi entah berapakali sudah aku mendapati kata-kata mesra di hp-nya dari seorang perempuan yang tak kukenal. Dan baru kemarin aku membaca send message di facebooknya, disana tertulis ‘6 January 2010’ ada sebuah item terkirim yang sengaja dikirimnya kesalah satu teman facebooknya. ‘Love you’ begitulah isi pesan singkat itu.
Ya! Singkat dan jelas. Bagai diiris sembilu perihnya hatiku saat itu. Aku menangis dalam hati --tak pernah menyangka Reza tega melakukan itu di belakangku. Airmataku ingin tumpah, tapi tak jatuh! Ia menggenang di pelupuk mataku, membentuk gelombang-gelombang kehancuran yang tak pernah kuharapkan.
Kini aku mengerti bahwa cinta hanya pura-pura, kini aku paham cinta itu tuli --aku tak mau tahu, aku tak mendengar semua penilaian orang tentang Reza, yang kudengarkan adalah isi hatiku, isi hati yang mengatakan bahwa aku mencintainya. Cinta itu buta --walau kerapkali aku merasa sakit karenanya, namun aku buta! Aku tak mampu melihat cinta yang lain, aku menutup hatiku untuk setiap cinta yang datang, semua hanya untuk mempertahankan hatiku pada Reza. ***
Sumber : http://www.analisadaily.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih karena sudah memberikan kritik maupun saran ...Sukses buat anda.